Saturday, January 24, 2015

Sejarah Balmi GM DLL

Sunday, September 28, 2003

BAKMI, atau mi, telah menjadi makanan rakyat. Lihatlah mi dijajakan keliling kampung siang malam dengan gerobak. Tengok pula warung kaki lima hingga rumah makan ber-AC yang khusus menyajikan mi. Di balik itu semua, juga terdapat banyak cerita mengenai etos kerja.
TENGOKLAH warung bakmi terkenal yang meriah dikunjungi orang di Jakarta. Kita sebut beberapa saja seperti Bakmi GM (dikenal sebagai Bakmi Gajah Mada), Bakmi Japos, Bakmi Pinangsia, Bakmi Golek, Depot 3.6.9, Bakmi Boy, atau juga Bakmi Gang Kelinci. Mereka tidak membangun usaha dalam sehari, tapi dengan keuletan seperti terigu yang diolah menjadi mi itu.
Jika Anda menyantap mi ayam, atau mi pangsit yang disuguhkan Bakmi GM , maka di balik rasa itu tersimpan sejarah panjang kerja keras manusia pembuatnya. Bakmi GM yang kini mempunyai tujuh cabang di kawasan terpandang itu berawal dari warung di emperan rumah keluarga Choi Siu di Jalan Gajah Mada-dulu dikenal sebagai Moolenvliet.
Usaha mi itu berawal dari hidup susah keluarga Choi Siu. Mereka semula mempunyai usaha mebel. Situasi sosial politik pada akhir 1950-an menjadikan usaha mebel bangkrut. Choi Siu (1911-1990) yang harus menghidupi sebelas anak itu kemudian bertahan hidup dengan berjualan mi.
"Kami cuma menggunakan lima meja. Itu pun ala kadarnya yang kami ambil dari meja yang dipakai di rumah," kenang Julia Widjaja (61), anak keluarga Choi Siu, yang kini menjadi Komisaris PT Griya Miesejati (PT GM) yang membawahi usaha Bakmi GM.
Choi Siu melibatkan anak- anaknya dalam usaha warung mi. Mereka bangun jam empat pagi untuk menyiapkan tetek bengek warung mi. Choi Siu, sang ayah, bermandikan peluh menggenjot bambu untuk menggiling terigu sebagai bahan dasar mi. Ingat, saat itu mereka belum menggunakan mesin pembuat mi.
"Ayah kami membuat mi pakai bambu yang digenjot. Ibu yang merebus mi dan kami sebelum berangkat sekolah bantu-bantu potong ayam dan sayur," kenang Julia yang ditemui di kantornya bersama adiknya, Peily Dian Lie (55).
Julia yang saat itu berusia 17 tahun mempunyai tugas belanja sayur di pasar Glodok. Sebelum berangkat sekolah di SMA Tung Hua Hui Koan (THHK) di bilangan Blandongan, Jakarta Barat, Julia masih sempat membantu memotong ayam dan sayur. Oleh teman sekolahnya Julia disebut sebagai "tukang tidur" karena dia harus bekerja keras dari jam empat baru tidur pukul sebelas malam.
Sang adik, Dian Lie, yang berumur sepuluh tahun dan duduk di kelas lima sekolah dasar, bertugas sebagai kasir. Ada pembeli yang kadang heran melihat Dian, anak kecil yang sudah menjadi kasir warung mi.
"Saya menghitungnya pakai tangan dan hanya pakai ingatan. Kami waktu itu kan enggak pake mesin hitung," kenang Dian Lie yang kini menjabat Direktur PT GM.
Meski terlibat dalam kerja yang boleh dibilang keras untuk remaja seusianya, namun Julia dan Dian menyikapi hari-hari dengan sukacita. "Teman-teman saya sampai bilang. ’Kamu kerja kok seneng-seneng banget sih.’ Soalnya kami kerja sambil nyanyi-nyanyi haha...." kenang Dian.
Hari demi hari warung bakmi yang tidak dinamai atau tidak menggunakan cap dagang itu semakin laris dikunjungi pelanggan. Dari lima meja, dua tahun kemudian mereka memasang sebelas meja.
Pada 1968, saat Ali Sadikin yang menjadi Gubernur Daerah Chusus Ibu Kota (DCI) Jakarta muncul rencana pelebaran Jalan Gajah Mada. Tempat usaha mi Choi Siu terpapras hingga sebelas meter. Dengan lahan yang menyempit, mereka kemudian membangun rumah dengan tiga lantai. Dua lantai di antaranya digunakan untuk warung mi. Pengurangan lahan itu rupanya malah menjadi berkah tersendiri. Pasalnya, setelah menempati bangunan baru, usaha mi itu semakin laris.
KISAH kerja keras juga dilewati keluarga pengusaha Mie Depot 3.6.9 di bilangan Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta Barat. Usaha yang berpusat di Surabaya ini kini mempunyai enam cabang, termasuk yang di Jakarta yang dikelola oleh Tjitrawati, atau akrab dipanggil Cik Mei-Mei.
Berdiri pada tahun 1958, riwayat awal usaha Depot 3.6.9 hampir mirip dengan Bakmi GM.
Orangtua Tjitrawati, keluarga Tjan Pat Yauw, yang berdarah Tionghoa-Kupang, semula adalah guru di sebuah sekolah di Surabaya. Karena situasi sosial politik pada akhir tahun 1950-an itu, sekolah tempat mereka mengajar ditutup dan mereka kehilangan pekerjaan. Keadaan ekonomi Tjan Pat Yauw saat itu sangat payah.
"Kami kadang harus pergi ke rumah saudara untuk meminjam beras," kenang Tjitrawati.
Ibu dari Tjitrawati yang kebetulan mempunyai resep pembuatan kue dumpling-kue berisi daging-mencoba membuka warung makan di Jalan Embong Malang, Surabaya. Suatu ketika Tjan Pat Yauw bertemu koki pembuat di Pasar Atum. Dari perjumpaan itu terpikirlah untuk menyuguhkan mi di warung yang kemudian diberi nama 3.6.9. Konon nama ini diambil dari merek kue terkenal buatan Cina.
Boleh jadi mi memang bisa menjadi sahabat yang baik bagi orang yang tidak mau menyerah pada kerasnya kehidupan. Hengky Tjoa (45) dari Bakmi Japos harus terseok-seok sebelum kini mengibarkan diri sebagai "Rajanya Mie" Asal tahu saja, Rajanya Mie dijadikan gimmick-pemikat dagang Hengky yang terbaca pada logo Bakmi Japos.
Hengky yang yatim piatu sebelum menginjak usia remaja itu harus menghidupi tiga adik-adiknya. Hengky antara lain pernah berjualan gundu, permen, sampai koran, atau apa saja yang bisa dijadikan uang. Selepas SMA, Hengky menjalani beragam bisnis mulai dari berjualan pakaian, ikan hias, usaha video rental, sampai berjualan ikan bakar, yang semuanya berakhir dengan satu kata: bangkrut.
"Waktu jualan ikan bakar di (Jalan) Radio Dalam setiap hari saya tekor melulu. Sialnya waktu itu hujan deras, tenda ambruk," kenang Hengky seakan menyempurnakan kisah sengsaranya.
Dia tidak menyerah. Pada tahun 1992, Hengky mengumpulkan apa saja yang tersisa untuk dijadikan bekal melanjutkan hidup. Ia menjual bangku, tenda warung, dan perkakas kerja yang akhirnya terkumpul Rp 750.000. Dari uang itulah lelaki yang senang memasak itu memulai usaha mi.
"Saya jualan pakai gerobak di depan kantor pemasaran perumahan Villa Japos. Saya jualan mi dengan harapan bisa diterima dan syukurlah mi saya diterima," tutur Hengky yang ditemui di Bakmi Japos, Bintaro Sektor 7.
Hengky yang semula belum mempunyai pengalaman di jagat mi itu bersedia belajar dari nol. Dia mempelajari cara pembuatan bahan dasar mi sekitar satu setengah tahun.
"Waktu pertama saya coba- coba dulu itu rasanya memang enggak karu-karuan. Saya coba terus sampai akhirnya terasa enak. Kalau mi saya tak enak, bagaimana saya bisa meyakinkan pembeli. Lidah saya kan juga mewakili taste banyak orang," kata Hengky yang memang penggemar berat mi.
Untuk sekadar promosi, Hengky membagikan selebaran kertas fotokopi yang berisi alamat dan menu Bakmi Japos yang saat itu hanya menyediakan mi ayam dan mi pangsit. Bakmi Hengky terbukti laris dan pembeli pun harus antre. Larisnya warung mi mengajarkan Hengky untuk lebih sabar dalam menghadapi manusia.
"Pernah saya ditunjuk-tunjuk dan dikata-katain pembeli. Dia bilang, ’Nanti saya gampar kamu.’
Itu karena dia tidak terlayani dengan cepat," kenang Hengky.
Nama Bakmi Japos kemudian memang populer di kalangan penggemar jajan. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, Hengky telah membuka delapan cabang yang dikelolanya bersama adik-adik dan kerabatnya. Pada cabang ke sembilan, Hengky telah menyerahkan ke orang lain dengan sistem waralaba. Kini usahanya tersebar di 20 cabang.
Usaha Hengky memang laris. Ketika membuka cabang di kompleks Bintaro Sektor III, bakmi Hengky menyebabkan lalu lintas macet. Warga Bintaro memprotes Bakmi Japos yang dianggap sebagai biang kemacetan. Oleh pengembang Hengky diminta pindah usaha. Namun, berkahnya, Hengky mendapat tempat lain di Bintaro yang lebih representatif. Berkah lain, orang yang dulu bertugas menutup cabang itu juga kecipratan rejeki dari mi. Kini mereka bergabung sebagai pemegang izin waralaba, alias ikut jualan mi.
BEGITULAH, mi telah menjadi penghidupan dan menghidupi banyak orang. Ini pemandangan lain dari para pejuang hidup yang mengandalkan mi. Lihatlah para perajin atau pembuat bahan mi yang bergabung dalam Paguyuban Tunggal Rasa, Jakarta. Mereka mempunyai anggota sekitar 70 orang. Setiap anggota memproduksi mi untuk memasok kebutuhan sekitar 40-400 penjual mi gerobakan.
Bisa dihitung berapa orang yang menggantungkan hidup pada mi. Padahal, jumlah 70 anggota itu adalah yang resmi terdaftar. Konon, jumlah perajin mi di Jakarta saja ada sekitar 120 dan masing-masing mempunyai pasukan mi yang dinikmati rakyat.
Menurut Wakidi, selaku Ketua Paguyuban Tunggal Rasa, para perajin selain memasok bahan mi juga menyediakan gerobak, mangkok dan segala piranti yang dibutuhkan penjual mi.
"Saya juga menyediakan pemondokan bagi pedagang mi yang menggunakan produk saya," kata Wakidi yang ditemui di tempat kerjanya di bilangan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur.
Organisasi yang menghimpun pembuat mi itu mempunyai program mendidik pedagang mi menjadi perajin mi. Minimal dalam lima tahun mereka menargetkan seorang penjual mi keliling harus mampu menjadi perajin mi. Jakarta bukan satu-satunya bagi paguyuban serupa. Jika di kota lain terdapat paguyuban perajin mi semacam itu, betapa mi diam-diam telah menggerakkan kehidupan rakyat. Mereka menciptakan lahan pekerjaan bagi rakyat.
Etos kerja keras juga terlihat dari bakmi Jawa Gunung Kidul. Usaha yang dimulai 1996 ini bermula dari kebangkrutan pedagang mi di Semanu, Gunung Kidul. Mereka kemudian diberi kesempatan membuka warung di emperan toko di kawasan Jati Bening, Bekasi. Setelah terbukti laris, usaha itu dikelola dengan manajemen yang tertata di bawah Koperasi Usaha Bakmi Jawa yang kini mempunyai 12 cabang di Jakarta dan sekitarnya.
Nama Gunung Kidul, wilayah Kabupaten di Yogyakarta itu memang bagi sebagian orang dikenal sebagai daerah tandus yang mengingatkan orang pada gaplek atau tiwul. Benyamin Sudarmadi dari Bakmi Jawa Gunung Kidul sengaja membawa nama kampung halamannya untuk menunjukkan bahwa kesan minus daerahnya tak identik dengan semangat loyo. Dan menurut pria kelahiran Gunung Kidul, itu semua akan dilawan dengan kerja keras pasukan penjual mi dari Gunung Kidul itu.
KISAH perjuangan "tukang mi" adalah kisah pekerti manusia ulet, tekun, dan pantang menyerah dalam merebut kehidupan yang lebih baik. Mereka bekerja dengan sukacita dan kecintaan profesi, dengan gairah, semangat, dan sungguh-sungguh yang diistilahkan "tukang mi" dari Bakmi GM sebagai passion.
"Kami perlu passion untuk bekerja. Kami mencintai benar pekerjaan jualan mi. Tanpa passion kami akan capek dan susah kerja. Dengan mencintai pekerjaan, kami jadi bersemangat mencari sesuatu yang lebih baik untuk pelanggan," kata Peily Dian Lie dari Bakmi GM.
Bangsa yang menurut Franz Magnis-Suseno tinggal menunggu waktu masuk jurang ini sepertinya ada baiknya belajar dari kerja keras praktisi mi. Mereka terbukti telah bertahan hidup dan menghidupi dengan bekerja ekstra keras-bukan dengan mengeluh dan banyak mulut (tanpa korupsi pula).
Sayang, belum ada Partai Bakmi.
Kompas,
Minggu, 28 September 2003
(ETA/EDN/LUK/ARN/CP/XAR)

SUMBER :

http://franchise-entrepreneur.blogspot.ca/2003/09/sejarah-bakmi-gm-bakmi-japos-dll.html

 

No comments:

Post a Comment